Kamis, 27 September 2012

MEMBEBASKAN CINTA

Ketika angin berlari menuruni bukit, sepasang kaki tua masih melangkah di antara ilalang. Jubah putihnya melambai pelan oleh sentuhan tangan-tangan usil milik sang angin yang berkejaran di antara kedua kakinya. Tongkat kayu penuntun langkah berjalan di depan, menyentuh bebatuan dan padang nan luas. Matanya cekung menatap arah, sinar matahari masih pongah tersenyum. Kening yang basah oleh bulir keringat sedikit mengernyit, menampakkan guratan milik sang wajah tua. Akankah di depan sana perhentian akan berakhir?
Sesampai di kaki bukit ia menemukan sebuah taman. Ia coba menghilangkan penat untuk semusim perjalanan. Di bawah sebuah pohon hijau nan rindang, ia duduk di sebuah batu. Dan kakinya coba menyejukkan diri pada air yang mengalir di dekatnya. Sungai itu elok membelah taman. Tak disia-siakannya bening air buat pelepas dahaga, membasuh kepala. Air menetes dari wajahnya yang telah basah, bergelantungan pada janggut lebat yang memutih. Rambut tua yang panjang berkilau oleh butir-butir air yang menempel diterpa garis-garis sinar matahari yang menyelusup dari celah-celah dedaunan pohon rindang tempat bernaung.
Ia menatap takjub pada mahluk hitam yang terbang dan hinggap di atas dahan pohon. Gagah dengan sayap terkembang.
Siapakah engkau yang terbang tinggi? Agungnya dirimu yang telah mengitari segala lekuk bumi di antara hembusan angin yang berlari, tanya lelaki tua itu pada mahluk itu. Matanya menatap lekat.
Aku hanyalah sang Rajawali. Petualang sejati yang mengarungi angkasa. Aku dapatkan kebebasan pada jagat yang mengerami bumi dengan waktu tiada pernah henti, jawabnya sambil menatap ke bawah.
Sungguh hebat dirimu wahai mahluk yang cerdas. Engkau tahu rahasia alam dari semua ketinggian. Di matamu tak ada ketidak tahuan. Di bola matamu terhampar segala prilaku hidup. Engkau tak dungu oleh tipuan alam. Aku jatuh cinta padamu, maukah kau jadi kekasihku? Lelaki tua itu terpesona olehnya, kejujurannya mengucap jernih.
Wahai lelaki tua, aku adalah bangsa pengembara sepertimu. Aku telah menyaksikan segala dusta pada cinta. Tak ada kesempurnaan pada cinta. Sekuat-kuatnya bertahan pada cinta, tubuh lain selalu mencoba mengganggu sang kekasih. Aku tak patut sombong oleh kecerdasanku, tapi aku menjadi saksi, oleh cinta banyak orang terluka. Jadi buat apa kita mati oleh cinta. Carilah yang lebih hebat dari diriku, carilah kekasih yang mau tinggal bersamamu. Aku tak mau menjadi bodoh oleh cinta, aku mahluk bebas, ucap sang Rajawali.
Tapi sang Rajawali, tidakkah kau sadar, kau pun mahluk sombong yang lemah. Di saat engkau lelah terbang jauh, kau pun harus turun ke bumi untuk hinggap di batang-batang pohon, kata lelaki tua, ada nada sindiran pada ucapnya.
Pohon-pohon memang kekasihku, tapi mereka adalah mahluk lemah yang bisa diperbudak. Aku tak pernah hiraukan ratap mereka, karena cakarku bisa menancap di dahan manapun. Pesonaku akan melunakkan hati mereka. Selamat berdungu ria dengan pencarian cintamu kawan, kata sang Rajawali. Sayapnya mulai terkepak dan melayang terbang sebelum mulut tua milik lelaki itu mengucap tanya yang lain.
Makin ke tengah taman, ia jumpai kuntum-kuntum bunga mawar yang tertawa ceria. Binal bergoyang ke sana ke mari, sangat menggoda. Menampakkan helai-helai daun dan bunga yang bermantel bulir-bulir air. Wanginya terbang bersama angin, menepis resah pencarian yang tak kunjung tiba milik sang pengelana itu. Mata lelaki tua itu terbelalak oleh lekuk yang sunguh sangat erotis, liurnya menetes kotori janggutnya. Kesempurnaan susunan kelopak bunga, dan mahkota yang bertuliskan keanggunan memikat hati bagi yang memandang padanya.
Sunguh nyaman di dekatmu wahai sang bunga mawar. Tak pernah ku jumpai kuntum sepertimu di sepanjang perjalananku, kuntum bunga yang ramah tersenyum. Tak ada kesombongan akan keindahan diri, akan kekayaan mahkota yang melekat pada dirimu. Engkau kaya akan damai bukan keindahan fisik belaka. Aku jatuh cinta padamu, ucap sang lelaki tua pada bunga-bunga mawar yang merekah di tengah taman. Matanya memancarkan binar-binar, bagai surya bangun di pagi hari.
Aku mahluk tak berpemilik. Aku memberikan cinta pada mereka yang meminta. Aku mahluk bebas yang tak mau dikekang. Ditawan oleh cinta sama saja dengan mati di keterasingan jiwa. Bagiku hidup itu indah bila kita semua bisa saling memiliki tanpa ada yang merasa jadi pemilik, ucap sang bunga mawar, tubuhnya yang dihinggapi duri-duri bergoyang pelan.
Belum sempat ia bertanya lagi, seekor kumbang telah hinggap di atas mahkota bunga itu. Mereka berpagutan sungguh mesra. Tak ada yang berontak, tak ada yang dipaksa. Setelah itu kumbang-kumbang pun berpindah pada pesona-pesona yang lainnya.
Tidakkah sang bunga sadar, dirinya hanya menjadi persingahan kumbang-kumbang, hanya untuk menikmati cintanya sesaat dan kemudian berlalu. Sungguh bodoh, batin lelaki tua.
Lelaki itu melangkah kian bergegas, matanya meniupkan rasa muak dan mual. Ia tak ingin berlama-lama hidup sendiri, cukuplah sudah sepi menyelimuti hari-hari yang lalu. Untuk waktu yang akan bergulir ke depan, ia butuh kekasih tempatnya menambat jiwa.
Di kejauhan dilihatnya seorang perempuan berjalan ke arahnya. Langkahnya anggun menapak tanah. Tubuhnya yang sempurna memancing perhatiannya. Kian nyata di jarak yang tak lebih dari beberapa langkah darinya.
Apa gerangan yang membawa sang puan ke sini? tanya lelaki tua, matanya terbelalak penuh keheranan.
Angin yang membaui resah dirimu hingga jejakmu ku kenali sebagai jejak yang meracau. Adakah yang kau cari di perhentian ini? tanya sang puan sambil tersenyum manis. Rambutnya tergerai dipermainkan angin. Lehernya yang jenjang sungguh indah dipandang.
Aku hanyalah sang musafir yang melangkah di jalan waktu. Matahari menemaniku dan sang rembulan tempat aku bercerita. Mengapa kau ada di taman ini sendiri? tanya lelaki tua mencari tahu, rasa herannya belum sirna.
Aku menanti sang kekasih yang kelak datang dan tinggal di hatiku, kata sang puan.
Aku datang untukmu, maukah kau jadi kekasihku. Aku sayang kamu, ucap lelaki tua. Kejujurannya mengucap jernih.
Secepat itu kau ucap sayang. Apa yang menyebabkan kau mengatakan itu? tanya sang puan penuh rasa heran.
Aku sayang padamu di detik saat kita berjumpa tadi. Rasa sayangku timbul oleh ketakutan akan kehilanganmu. Karena aku sadar, aku sang musafir yang ditakdirkan terus melangkah di bawah awan, kelak aku akan meninggalkan taman ini, meninggalkanmu. Tak mendapatkanmu di sisiku akan membuatku sangat kehilangan. Ketika rasa kehilangan itu hadir, tubuh ini akan kian remuk redam. Tak kunjung selesai rindu yang kian membengkak memenuhi dadaku. Nafasku akan sesak oleh rindu dan langkahku akan tertatih, terjerembab. Engkau ada di hatiku saat ini dan nanti, ucap lelaki tua itu.
Engkau mengatakan sebelum melakukan. Pergilah ke ujung dunia. Bila engkau terjerembab oleh rindu yang menggunung, kembalilah padaku. Ujilah dahulu rindu milikmu. Tempatmu di sini, bukan di langkah-langkah yang tak kunjung jelas, ucap sang puan.
Aku lelaki yang tak ingin di tawan oleh sang puan. Tempatku bukan di sini, tempatku di langkah-langkah waktu. Aku tak ingin terpenjara oleh cinta. Aku tak ingin dungu oleh cinta. Atau maukah sang puan hadir bersama langkahku di pengembaraanku? tanya lelaki tua penuh harap.
Tempatku di sini, tempat memenjarakan kaum lelaki yang terpikat olehku. Karena rantai cintaku akan mengekangnya, ucap sang puan ketus.
Adakah cinta yang tak mengekang? Aku mencari cinta yang membebaskan cinta, tanya lelaki tua.
Carilah dia di jalan tak berujung. Di sana akan kau jumpai tembok tebal yang tinggi dan di baliknya seonggok pembebas menanti manusia sejenismu. Mungkin hanya dia yang layak bagi manusia bebas sepertimu. Benturkan kepalamu pada temboknya, biarlah darah yang mengucur akan melumerkan dinding itu. Dan pengorbananmu akan memikatnya. Atau kau akan mati kehabisan darah sebelum kau rasakan cinta sejati miliknya, ucap sang puan.
Dan tanpa menunggu masa, lelaki tua itu berjalan pergi ke arah mana telunjuk sang puan menghunjuk. Meninggalkan sang puan dengan rumah tahanannya. Lelaki tua melangkah pasti di kebebasan cinta miliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


IS PRAS © 2012 Template by : Ibnu Suryo | Powered by Blogger.com